Selasa, 23 Mei 2017

Fayakhun Bicara Soal Politik Luar Negeri SBY

Fayakhun menyebut Pada tahun 2013 Indonesia dikejutkan oleh kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia kepada Presiden SBY dan beberapa pejabat lainnya. Tentu saja kasus ini mengundang reaksi dari banyak pihak, termasuk tanggapan dari Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta, Fayakhun Melalui akun kompasiana.com, Fayakhun menulis :

“Pada tahun 2009 Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya mencanangkan politik a million friends, zero enemy. Tapi pada tahun 2009 itu juga Indonesia disadap oleh Australia, yang baru terbongkar pada tahun ini karena bocoran rahasia dari mata-mata AS. Adakah persahabatan tulus dalam persahabatan antar negara? Bagaimana harusnya Indonesia memposisikan diri dalam persahabatan itu?”

Fayakhun juga mengutip Pidato Kenegaraan Presiden SBY dalam rangka HUT RI ke-65, tanggal 16 Agustus 2010 di depan Sidang DPR dan DPD-RI, yang mengingatkan bahwa Indonesia berjuang aktif untuk keadilan dan perjuangan. “Dalam kesempatan tersebut, beliau juga mulai memperkenalkan kebijakan politik luar negeri Indonesia ke segala arah, atau “all directions foreign policy”. Menurut Presiden SBY : “sejuta kawan, tanpa musuh”, “a million friends, zero enemy”, tulis Fayakhun.
 Fayakhun mengingatkan bahwa, sejatinya persahabatan sejati antar dua negara itu tidak ada. Fayakhun mencontohkan bagaimana Amerika juga melakukan penyadapan kepada negara-negara yang menjadi sekutunya.


“Nyatanya, praktik penyadapan ini memang tak hanya ditujukan kepada para pejabat di Indonesia. Namun juga hamper kepada seluruh kepala negara di dunia. Dimana menurut data intelijen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, NSA Amerika telah menyadap pembicaraan 35 kepala negara di dunia, dimana nomor kepala Negara diketahui setelah terlebih dahulu menyadap pejabat di bawahnya. Praktik penyadapan yang dilakukan Amerika ini bahkan dilakukan kepada negara-negara yang selama ini dianggap sebagai Negara sahabatnya sendiri, seperti Jermandan Israel. Kanselir Jerman Angelina Merkel, bahkan sempat marah, karena nomornya ada dalam daftar yang disadap NSA.”


Melihat berbagai fakta ini, maka Fayakhun mengingatkan agar Indonesia tidak terjebak dalam politik cinta damai. Fayakhun menulis : “Indonesia boleh saja berpolitik zero enemies, million friends, tapi arsitektur keamanan nasional termasuk sistem persandian anti sadap harus dibangun secara lebih terintegrasi. Dan yang lebih penting lagi tentu saja adalah politik luar negeri serta politik keamanan nasionalnya harus mengedepankan prinsip realisme politik. Prinsip yang bersandar pada doktrin bahwa, meskipun politik luar negeri kita meniscayakan perdamaian dunia, namun juga jangan lupa untuk mempersiapkan diri dari agresi negara lain (legitimate self defense).”


Senin, 15 Mei 2017

Dunia Politik Digital Pemilih Pemula Gagasan Fayakhun Andriadi Bagian I



http://aktivitasfayakhunandriadi.blogspot.co.idPada tahun 2007, Chris Hughes yang kala itu baru berusia 23 tahun, menandatangani kontrak kerja dengan sebagai Tim Sukses Kampanye Barack Obama. Hughes adalah teman sekamar Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, sewaktu di Harvard University dan turut membantu pengembangan jaring sosial tersebut. Saat itu, Obama tak diunggulkan. Pamornya jauh dibawah Hillary Clinton.
Melihat fakta tersebut, Hughes berujar soal strategi apa yang cocok untuk menutupi ketertinggalan Obama, dan secara instan bisa menyalip Hillary, ”Jika Obama ingin menang, ia perlu memiliki strategi kampanye yang secara cepat didukung banyak orang. Tidak ada cara lain untuk melakukannya selain internet.” Resep Hughes terbukti manjur. Dan Hughes bukan satu-satunya anak muda dalam tim sukses kampanye Obama. Ada banyak wajah muda lainnya di sana.
Fakta di atas bisa kita baca di buku Grown Up Digital: How the Net Generation Is Changing Your World(2009) karya Don Tapscott. Penulis buku itu kemudian membeberkan fakta tentang pentingnya teknologi digital sebagai faktor yang mengantarkan Obama menjadi Presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. Melalui kampanye digital, Obama berhasil memikat generasi muda negeri itu, yang tergolong sebagai pemilih pemula, untuk turut serta mengkampanyekan dan mensosialisasikan Obama melalui media digital. Bahkan, mereka rela “merayu” publik AS untuk bersedia menyumbang dana kampanye Obama. Alhasil, menurut Tapscott, pemilih pemula AS yang sebelumnya sangat apatis terhadap politik dan tidak mau berurusan dengan politik meski secuil, tiba-tiba menjadi sangat gandrung dengan politik dan menaruh harapan besar pada sosok Obama.
Tujuh tahun kemudian, di negara kita Indonesia, teknologi digital juga mulai merambah secara massif dunia politik. Perangkat teknologi yang satu mulai digunakan sebagai sarana sosialisasi dan kampanye para calon pemimpin dan politisi. Meski masih dalam format yang sederhana, sporadis, dan parsial, namun ini cukup menggembirakan. Artinya, ada kesadaran dari para aktor-aktor politik terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Yaitu datangnya era baru yang disebut dengan era teknologi digital. Para politisi sudah mulai secara aktif melihat pentingnya Facebook, Twitter, Website, Blog, dan Youtube untuk digunakan sebagai media alternatif dalam membangun komunikasi dan interaksi dengan konstituennya secara khusus, dan warga negara pada umumnya.

Kelebihan teknologi digital adalah fasilitas interaktif yang disediakannya. Dan faktor inilah yang membuat generasi muda atau pemilih pemula menggandrunginya. Dengan sosial media, mereka bisa berbicara, tidak hanya mendengar; bisa mengkritik, tidak hanya patuh; bisa memberi usul, tidak hanya pasif; dan bisa untuk tidak setuju, tidak hanya manut. Bahkan, sosial media memungkinkan mereka untuk “men-delate” seorang politisi, jika dianggap tidak sesuai dengan selere aspirasinya.
Semua fasilitas yang bisa mereka nikmati di sosial media ini tidak bisa mereka dapatkan di dunia politik “nyata”. Ada ruang kebebasan yang sangat luas, yang itu sangat sesuai dengan karakteristik generasi muda: pemberontak, kritis, tidak mudah menerima, dialogis, dan berbagai kecenderungan interaktif lainya. Jadi, sifat generasi muda yang tidak suka diperlakukan monolog (satu arah), ditampung oleh teknologi digital dalam bentuk fasilitas yang tersedia yang serba interaktif.
Untuk konteks Indonesia, apakah kehadiran teknologi digital dalam dunia politik telah berkontribusi pada peningkatan partisipasi politik generasi muda atau pemilih pemula? Belum ada data riset yang valid tentang hal ini. Namun setidaknya ada satu fakta yang mungkin saja memiliki korelasi dengan hal itu.