Senin, 15 Mei 2017

Dunia Politik Digital Pemilih Pemula Gagasan Fayakhun Andriadi Bagian I



http://aktivitasfayakhunandriadi.blogspot.co.idPada tahun 2007, Chris Hughes yang kala itu baru berusia 23 tahun, menandatangani kontrak kerja dengan sebagai Tim Sukses Kampanye Barack Obama. Hughes adalah teman sekamar Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, sewaktu di Harvard University dan turut membantu pengembangan jaring sosial tersebut. Saat itu, Obama tak diunggulkan. Pamornya jauh dibawah Hillary Clinton.
Melihat fakta tersebut, Hughes berujar soal strategi apa yang cocok untuk menutupi ketertinggalan Obama, dan secara instan bisa menyalip Hillary, ”Jika Obama ingin menang, ia perlu memiliki strategi kampanye yang secara cepat didukung banyak orang. Tidak ada cara lain untuk melakukannya selain internet.” Resep Hughes terbukti manjur. Dan Hughes bukan satu-satunya anak muda dalam tim sukses kampanye Obama. Ada banyak wajah muda lainnya di sana.
Fakta di atas bisa kita baca di buku Grown Up Digital: How the Net Generation Is Changing Your World(2009) karya Don Tapscott. Penulis buku itu kemudian membeberkan fakta tentang pentingnya teknologi digital sebagai faktor yang mengantarkan Obama menjadi Presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. Melalui kampanye digital, Obama berhasil memikat generasi muda negeri itu, yang tergolong sebagai pemilih pemula, untuk turut serta mengkampanyekan dan mensosialisasikan Obama melalui media digital. Bahkan, mereka rela “merayu” publik AS untuk bersedia menyumbang dana kampanye Obama. Alhasil, menurut Tapscott, pemilih pemula AS yang sebelumnya sangat apatis terhadap politik dan tidak mau berurusan dengan politik meski secuil, tiba-tiba menjadi sangat gandrung dengan politik dan menaruh harapan besar pada sosok Obama.
Tujuh tahun kemudian, di negara kita Indonesia, teknologi digital juga mulai merambah secara massif dunia politik. Perangkat teknologi yang satu mulai digunakan sebagai sarana sosialisasi dan kampanye para calon pemimpin dan politisi. Meski masih dalam format yang sederhana, sporadis, dan parsial, namun ini cukup menggembirakan. Artinya, ada kesadaran dari para aktor-aktor politik terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Yaitu datangnya era baru yang disebut dengan era teknologi digital. Para politisi sudah mulai secara aktif melihat pentingnya Facebook, Twitter, Website, Blog, dan Youtube untuk digunakan sebagai media alternatif dalam membangun komunikasi dan interaksi dengan konstituennya secara khusus, dan warga negara pada umumnya.

Kelebihan teknologi digital adalah fasilitas interaktif yang disediakannya. Dan faktor inilah yang membuat generasi muda atau pemilih pemula menggandrunginya. Dengan sosial media, mereka bisa berbicara, tidak hanya mendengar; bisa mengkritik, tidak hanya patuh; bisa memberi usul, tidak hanya pasif; dan bisa untuk tidak setuju, tidak hanya manut. Bahkan, sosial media memungkinkan mereka untuk “men-delate” seorang politisi, jika dianggap tidak sesuai dengan selere aspirasinya.
Semua fasilitas yang bisa mereka nikmati di sosial media ini tidak bisa mereka dapatkan di dunia politik “nyata”. Ada ruang kebebasan yang sangat luas, yang itu sangat sesuai dengan karakteristik generasi muda: pemberontak, kritis, tidak mudah menerima, dialogis, dan berbagai kecenderungan interaktif lainya. Jadi, sifat generasi muda yang tidak suka diperlakukan monolog (satu arah), ditampung oleh teknologi digital dalam bentuk fasilitas yang tersedia yang serba interaktif.
Untuk konteks Indonesia, apakah kehadiran teknologi digital dalam dunia politik telah berkontribusi pada peningkatan partisipasi politik generasi muda atau pemilih pemula? Belum ada data riset yang valid tentang hal ini. Namun setidaknya ada satu fakta yang mungkin saja memiliki korelasi dengan hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar