Pada tahun 2007, Chris Hughes yang kala itu baru berusia 23 tahun,
menandatangani kontrak kerja dengan sebagai Tim Sukses Kampanye Barack Obama.
Hughes adalah teman sekamar Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, sewaktu di
Harvard University dan turut membantu pengembangan jaring sosial tersebut. Saat
itu, Obama tak diunggulkan. Pamornya jauh dibawah Hillary Clinton.
Melihat fakta tersebut, Hughes berujar soal strategi apa yang cocok
untuk menutupi ketertinggalan Obama, dan secara instan bisa menyalip Hillary,
”Jika Obama ingin menang, ia perlu memiliki strategi kampanye yang secara cepat
didukung banyak orang. Tidak ada cara lain untuk melakukannya selain internet.”
Resep Hughes terbukti manjur. Dan Hughes bukan satu-satunya anak muda dalam tim
sukses kampanye Obama. Ada banyak wajah muda lainnya di sana.
Fakta di atas bisa kita baca di buku Grown Up Digital: How the Net
Generation Is Changing Your World(2009) karya Don Tapscott. Penulis buku itu
kemudian membeberkan fakta tentang pentingnya teknologi digital sebagai faktor
yang mengantarkan Obama menjadi Presiden kulit hitam pertama di Amerika
Serikat. Melalui kampanye digital, Obama berhasil memikat generasi muda negeri
itu, yang tergolong sebagai pemilih pemula, untuk turut serta mengkampanyekan
dan mensosialisasikan Obama melalui media digital. Bahkan, mereka rela “merayu”
publik AS untuk bersedia menyumbang dana kampanye Obama. Alhasil, menurut
Tapscott, pemilih pemula AS yang sebelumnya sangat apatis terhadap politik dan
tidak mau berurusan dengan politik meski secuil, tiba-tiba menjadi sangat
gandrung dengan politik dan menaruh harapan besar pada sosok Obama.
Tujuh tahun kemudian, di negara kita Indonesia, teknologi digital
juga mulai merambah secara massif dunia politik. Perangkat teknologi yang satu
mulai digunakan sebagai sarana sosialisasi dan kampanye para calon pemimpin dan
politisi. Meski masih dalam format yang sederhana, sporadis, dan parsial, namun
ini cukup menggembirakan. Artinya, ada kesadaran dari para aktor-aktor politik
terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Yaitu datangnya era baru yang
disebut dengan era teknologi digital. Para politisi sudah mulai secara aktif
melihat pentingnya Facebook, Twitter, Website, Blog, dan Youtube untuk
digunakan sebagai media alternatif dalam membangun komunikasi dan interaksi
dengan konstituennya secara khusus, dan warga negara pada umumnya.
Kelebihan
teknologi digital adalah fasilitas interaktif yang disediakannya. Dan faktor
inilah yang membuat generasi muda atau pemilih pemula menggandrunginya. Dengan
sosial media, mereka bisa berbicara, tidak hanya mendengar; bisa mengkritik,
tidak hanya patuh; bisa memberi usul, tidak hanya pasif; dan bisa untuk tidak
setuju, tidak hanya manut. Bahkan, sosial media memungkinkan mereka untuk
“men-delate” seorang politisi, jika dianggap tidak sesuai dengan selere
aspirasinya.
Semua fasilitas yang bisa mereka nikmati di sosial media ini tidak
bisa mereka dapatkan di dunia politik “nyata”. Ada ruang kebebasan yang sangat
luas, yang itu sangat sesuai dengan karakteristik generasi muda: pemberontak,
kritis, tidak mudah menerima, dialogis, dan berbagai kecenderungan interaktif
lainya. Jadi, sifat generasi muda yang tidak suka diperlakukan monolog (satu
arah), ditampung oleh teknologi digital dalam bentuk fasilitas yang tersedia
yang serba interaktif.
Untuk konteks Indonesia, apakah kehadiran teknologi digital dalam
dunia politik telah berkontribusi pada peningkatan partisipasi politik generasi
muda atau pemilih pemula? Belum ada data riset yang valid tentang hal ini.
Namun setidaknya ada satu fakta yang mungkin saja memiliki korelasi dengan hal
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar