Pendidikan di era perjuangan kemerdekaan diakui oleh Fayakhun Andriadi, Ketua DPD Partai
Golkar DIY, mampu melahirkan gerakan pembebasan yang ujungnya adalah
kemerdekaan Indonesia. Fayakhun memberikan apresiasinya lewat ulasannya di akun
kompasiana.com. Fayakhun menulis :
“Asupan pola pendidikan di era pergolakan kemerdekaan itulah
yang mencirikan karakter bangsa di masa-masa awal kemerdekaan. Para pendiri
bangsa yang merupakan tokoh-tokoh politik berkaliber internasional semisal
Mohammad Natsir, Muhammad Yamin, Sutan Syahrir dan lain sebagainya adalah para
cerdik pandai yang pernah mengenyam pendidikan formal maupun informal. Namun
formalitas pendidikan yang mereka jalani mampu melahirkan nilai-nilai
pembebasan bagi masyarakatnya.”
Hal inilah, yakni pendidikan untuk pembebasan, dalam
pandangan Fayakhun tidak ditemukan
di era setelahnya, terutama sejak era Orde Baru. Di era ini, menurutnya, pola
pendidikan justru sangat diwarnai dengan aroma politisasi yang sangat kental.
Kaum terdidik dan terpelajar lahir untuk dirinya sendiri, tidak hadir sebagai agen
perubahan (agent of change) yang membawa idealisme kemajuan. Jika pun ada, maka
karakter itu hanya muncul secara individual, tidak lahir dari sistem pendidikan
yang disepakati dan dijadikan sebagai sistem pendidikan nasional.
Fayakhun mengutip Mochtar Buchori yang mengungkapkan sebuah
fenomena historis terkait dengan pola pendidikan di Indonesia pada periode
1908-1945 dan 1959 dan 1998. Dalam periode 1908-1945 semangat pendidikan adalah
"semangat melawan dan membebaskan". Sementara pada periode 1959-1998,
semangat melawan dan membebaskan ini melemah secara sistematis, dan akhirnya
menjadi lumpuh sama sekali. Semangat zaman yang ada selama Orde Baru ialah
semangat "mengabdi penguasa".
Karena itu, Fayakhun menilai tidak sulit menyaksikan betapa
kurikulum pendidikan menekankan pada hasil-hasil yang bersifat material. Hingga
pada tahap tertentu mengklasifikasi anak didik dalam kategori-kategori tertentu
berdasarkan nilai-nilai yang dihasilkan oleh anak didik. Sekolah menjadi
lembaga pendidikan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang
tidak egaliter dan cenderung diskriminatif.
“Sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan dalam era
industri yang telah menjadi sedemikian mekanistik. Penyelenggaraan pendidikan
oleh sekolah merupakan praksis yang tidak sebangun dengan pendidikan itu
sendiri. Murid-murid kemudian mempunyai logika baru; belajar dianggap sebagai
hasil proses pembelajaran yang diadakan oleh sekolah, semakin banyak pengajaran
maka semakin banyak hasilnya, menambah materi maka akan semakin mempermudah
keberhasilan,” pungkas Fayakhun menyesalkan pola pendidikan yang tidak lagi
menjadi gerakan pembebasan bagi bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar